"Pasir Aura" Untuk Aura (Karya Anak)

Penulis : AYUMI JUSTHIZYA (Kelas VII A)

GivansJHS – Sudah menjadi kebiasaanku melepas penat di bibir pantai. Salah satu suasana favoritku adalah menikmati senja merah ketika mentari perlahan condong ke barat. Cakrawala yang dipenuhi Camar pantai berpadu dengan gulungan ombak tenang, membalut permenunganku.

“Toot… toottttttt…. toooottt,” stom kapal nelayan memecah keheningan.

Fokus mataku langsung beralih ke kapal yang sedang merapat ke pantai. Aku melihat seorang pria tua melompat. Sambil menggenggam tali panjang dan ember, ia berlari ke darat kemudian mengikat tali itu di salah satu pohon. Dengan wajah lusuh ia melangkah pergi.

Hal tersebut sudah aku perhatikan kurang lebih seminggu. Lelaki itu selalu pulang dengan ekspresi wajah dan gestur yang kurang bersemangat. Hari itu, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk mengejar dan mencari tau tentang lelaki tua itu.

“Bapak, tunggu,” teriakku sambil berlari mendekat.

“Halo nak, ada apa ?” balasnya dengan lembut.

“Halo bapak, namaku Ayumi. Apakah boleh aku bertanya-tanya tentang bapak ?” tanyaku, berharap.

‘Oh, tentu saja. Nama bapak Andre, bapak seorang nelayan. Itu di sana rumah bapak,” katanya sambil tersenyum.

“Ayo ke rumah bapak, di sana ada anak perempuan bapak yang seusia dengan kamu.”

Kami pun berjalan bersama menuju rumahnya.

“Mohon maaf bapak, sudah seminggu ini saya melihat wajah bapak sepertinya murung ketika pulang melaut,” kataku penasaran.

“Lihatlah nak, semakin hari tangkapan bapak semakin sedikit,” jawabnya sembari menunjukan isi ember yang dipegangnya.

“Jaring yang bapak tebar ke laut, lebih banyak menjerat sampah dari pada ikan,” lanjutnya.

Saat mendengar jawaban bapak Andre, hatiku langsung terpukul mengingat kebiasaanku yang tanpa beban membuang sampah ke laut. Bahkan sebelum bertemu bapak Andre, ada sejumlah kemasan makanan ringan yang aku buang ke laut.

Permenunganku yang singkat itu terhenti. Suara batuk dari dalam rumah menyambut kami yang telah sampai di gerbang halaman rumah.

“Mungkin itu anak perempuannya bapak Andre,” gumamku.

“Aura….. Aura……, sini nak, bapak pulang dengan teman barumu ?,” teriak bapak Andre memanggil anak perempuannya.

Seorang anak perempuan keluar dengan langkah yang tertatih. Ia tersenyum menatapku walau batuk terus menyerang. Tangannya sedikit gemetar memberikan salam perkenalan kepadaku.

“Ini Aura anak bapak, dan ini Ayumi teman barumu nak,” bapak Andre mempertemukan kami.

Bapak Andre mengisahkan bahwa di rumah itu hanya tinggal mereka berdua. Ibunda Aura belum lama meninggal karena terkena penyakit kanker. Belum sempat aku menyampaikan belasungkawa, bapak Andre melanjutkan cerita bahwa penyakit kanker yang diderita ibunda Aura karena keracunan ikan yang mengandung merkuri.

“Saat ini Aura sedang batuk dan terkena alergi,” kata bapak Andre lagi.

“Apakah Aura sudah diperiksa ke dokter ?” tanyaku, memberikan perhatian kepada Aura.

“Sudah, kata dokter aku terlalu banyak mengkomsumsi zat kimia, padahal aku hanya memakan nasi, sayuran dan ikan hasil tangkapan bapak,” keluh Aura.

Setelah berbagi cerita tentang keluarga masing masing, aku memutuskan untuk pulang. Apalagi waktu itu sudah menunjukan pukul 18.30. Rumahku berjarak kira-kira 500 meter dari rumah bapak Andre. Pemukiman kami terpisah oleh jalan raya besar yang sangat ramai.

Perasaan bersalah, menyelimuti perjalanan pulang. Ragam pertanyaan muncul dalam benak, jangan-jangan sampah yang sering aku dan orang lain buang ke laut menjadi penyebab masalah yang dialami para nelayan dan keluarganya.

Kesedihan mulai membayangi hati, terutama jika mengingat wajah bapak Andre dan Aura. Suasana batin yang tidak menentu terbawa terus hingga menjadi penghantar tidurku malam itu.

Keesokan hari ketika di sekolah, aku memberanikan diri bertanya pada guru IPS. Pak Kanis, namanya.

“Pak, bagaimana sampai seseorang keracunan ikan ?” tanyaku dengan penasaran.

Pak Kanis menjelaskan secara perlahan kepadaku.

“Salah satu penyebab manusia keracunan ikan, karena ikan mengkonsumsi sampah plastik. Ketika manusia membuang sampah plastik ke laut, plastik itu akan dihancurkan oleh sinar matahari dan ombak. Dalam waktu tertentu, plastik akan berubah menjadi mikroplastik, satu partikel berdiameter kurang dari lima milimeter. Mikroplastik yang dimakan ikan bisa berpindah ke semua organ tubuh ikan malang itu,”

“Nah, menurut penelitian para ahli, mikroplastik di ikan bisa terurai menjadi merkuri. Zat kimia tersebut dapat menjadi racun. Bahan yang tak dapat diproses alam bisa menyatu dengan organ ikan dan kemudian masuk ke tubuh manusia menjadi pemicu terjadinya kanker, alergi, hingga mutasi gen,” terang Pak Kanis.

Mendengar penjelasan Pak Kanis, aku menjadi sadar bahwa semua masalah di laut bersumber dari perilaku manusia dan kembali memberi dampak kepada manusia.

“Kesalahan yang kita buat akan berakibat fatal bagi kehidupan laut dan kalayak banyak,” jawabku yang langsung mendapat respon jempol dari Pak Kanis.

Ketika pulang ke rumah, aku kembali bermenung, apa yang harus aku lakukan agar bisa membantu bapak Andre, Aura dan para nelayan lainnya. Aku mendiskusikan hal tersebut dengan ibu.

“Kamu harus memulai dari dirimu sendiri. Jadilah pribadi yang minim sampah,” kata ibu.

“Bagaimana caranya ibu ?” balasku.

“Lakukan hal yang sederhana misalnya, tidak menggunakan sedotan plastik, jangan memakan permen karet karena tidak mudah hancur saat di buang.  Bawalah botol minuman sendiri ke sekolah atau ke tempat umum dan untuk makanan kesukaanmu yaitu es krim, pilihkan es krim cone, jangan es krim cup karena kemasannya terbuat dari plastik,” jawab ibu.

Kakak yang tak mau kalah dari ibu juga menyambung.

“Mulai sekarang ibu harus memakai tas belanjaan besar yang terbuat dari bahan daur ulang. Ibu juga harus melatih kami mengolah botol bekas menjadi pot bunga, celengan, tempat alat tulis dan tempat pakan burung untuk ayah.”

Ibu menyanggupi permintaan kakak dengan berkata, “Oke, mari kita memulainya.”

Sejak saat itu, selalu ada waktu khusus di rumah bagi kami sekeluarga membuat kerajinan dari bahan bekas.

Selanjutnya untuk aksi membersihkan pantai, ibu membantu aku dan teman-teman sepermainan di sekitar rumah menggagas aksi “Pasir Aura” yaitu PAntai berSIh, Rapi, Asri, sejUk dan RAmah. Program tersebut terinspirasi dari Aura, gadis remaja seusiaku, yang aku jumpai.

Setiap dua minggu sekali kami berkomitmen akan datang ke pantai untuk memastikan pantai bebas dari sampah.

Di sudut-sudut pantai kami memasang tulisan berwarna dari barang bekas yang memuat pesan baik misalnya, “Di Laut Ada Kehidupan, Jangan Merusak Dengan Sampahmu.” Ada juga tulisan, “Sampahmu Adalah Bencana Bagi Ikan dan Manusia.” Dan beberapa tulisan lain yang mengkampanyekan tentang kesadaran menjaga kebersihan laut.

Untuk membantu kesembuhan Aura, kami juga mengumpulkan sebagian dari uang jajan kami agar Aura bisa segera berobat dan mendapat pemeriksaan Dokter.

Aku memyadari betul bahwa segala usaha yang dilakukan dengan tulus demi kebaikan banyak orang pasti dilihat dan diberkati Tuhan. Harapan kami akan pantai yang bersih akhirnya terwujud. Terlebih lagi, dari waktu ke waktu, Aura pun secara perlahan sembuh. Ia kembali bersemangat untuk sekolah dan bermain.

Kini, ketika ke pantai aku tidak sendirian lagi terlarut dalam permenungan karena ada Aura yang setia menunggu untuk bermain. Kami berlari bersama ombak, mengejar bibir pantai. Berteriak bersama burung Camar yang beradu kaki pada cadas-cadas pantai. Sungguh asik dan mengagumkan.

“Toot… toottttttt…. toooottt,” stom kapal nelayan berbunyi. Bapak Andre pulang disambut senyuman lepas Aura yang tak sabar menanti. Aku pun ikut bahagia menyaksikan perpaduan sukacita antara ayah dan anak di bawah cakrawala senja yang merah itu.

Sekian